Latar Belakang

Kekerasan seksual menjadi masalah sosial yang serius dan merupakan bentuk kejahatan yang berkaitan dengan aktivitas seksual yang tidak diinginkan atau diinginkan yang dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Kekerasan seksual dalam kehidupan nyata sebagian besar merupakan fakta yang tak terhindarkan, dan kekerasan terhadap yang rentan, terutama perempuan dan anak-anak, merupakan kejadian sehari-hari dan terjadi di mana-mana. Setiap individu dan masyarakat tetap berhak untuk hidup aman. Melihat kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini, sangat memprihatinkan dan menunjukkan bahwa lingkungan bukanlah tempat yang aman bagi semua orang, terutama perempuan. Menurut data Komnas Perempuan tahun 2015-2020, dari seluruh pengaduan kekerasan seksual di lembaga pendidikan, 27% kasus terjadi di Perguruan Tinggi. Data ini juga diperkuat dengan hasil survei Kemendikbudristek, bahwasannya 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus tempat mereka mengajar dan 63% dari mereka tidak melaporkan kasus tersebut ke pihak kampus. Perguruan Tinggi menjadi urutan ketiga terjadinya tindak kekerasan 4 seksual sebanyak 15%, setelah jalanan 33%, dan transportasi umum 19% (Mendikbudristek, 2021).

Meningkatnya kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual pada mahasiswa karena pelakunya kebanyakan adalah orang-orang yang paling dekat dengan lingkungan kampus, seperti dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, atau masyarakat umum dalam hal ini adalah orang-orang di lingkungan Perguruan Tinggi, sehingga mengakibatkan keengganan para korban untuk melaporkan kasusnya. Kurangnya pengaduan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi menunjukkan bahwa tidak semua Perguruan Tinggi memiliki aturan yang jelas, dapat ditegakkan dan efektif untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual, termasuk rehabilitasi korban. Selain itu, adanya ketidaktahuan dan penyangkalan terhadap kekerasan seksual demi menjaga nama baik kampus. Kasus kekerasan seksual terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk pelecehan seksual yang sering terjadi di jalan, di angkutan umum, dan di lingkungan pendidikan.

Dari sederet kasus kekerasan seksual lingkungan Perguruan Tinggi selalu tidak memiliki titik terang, yang menjadi perhatian bersama, dan diperlukan payung hukum yang baku untuk mencegah dan menangani serangkaian kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, mengungkapkan adanya kekosongan hukum dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, diperlukan landasan hukum atau regulasi untuk mengatur masalah kekerasan seksual dan pada tanggal 3 September 2021, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara resmi menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan. dan Penanganan kekerasan seksual. Dalam undang-undang, Permendibudristek 30/2021 menegaskan Perguruan Tinggi dapat mengambil langkah hukum untuk menindak lanjuti pelaku kekerasan seksual.

Pada tahun 2022, ada 49 laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang dilaporkan pada Kelompok Kerja PPKS Kemendikbudristek. Kekerasan seksual tersebut melibatkan dosen PTN ataupun PTS hingga mahasiswa. Dari laporan kekerasan seksual yang ditangani dengan Permendikbudristek tentang PPKS, ada empat dosen PNS yang dikenai sanksi pidana dan dua dosen PNS dalam proses. Sanksi disiplin berat juga dikenakan kepada 13 dosen PNS dan satu dosen swasta, sedangkan disiplin sedang untuk empat dosen swasta. Ada juga sanksi ringan kepada satu dosen swasta serta sanksi administratif kepada empat dosen swasta yang kontraknya diberhentikan dan dua mahasiswa dikeluarkan. Selain itu, ada pula satu mahasiswa yang diskorsing.

Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang selanjutnya disebut Satgas PPKS adalah bagian dari Perguruan Tinggi yang berfungsi sebagai pusat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi. Satuan Tugas PPKS memiliki beberapa tugas terkait, diantaranya membantu pemimpin perguruan tinggi menyusun pedoman PPKS di perguruan Tinggi, melakukan dan menyampaikan hasil survei, menindaklanjuti kekerasan seksual, dan melakukan koordinasi dengan instansi dan unit yang menangani pelayanan pengaduan.

Berdasarkan uraian diatas Universitas Safin Pati (USP) sebagai salah satu Perguruan Tinggi Swasta Di Jawa Tengah menyambut baik dan merespon secara positif Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dengan melakukan langkah konkrit dengan segera membuat dan menetapkan Peraturan Rektor Nomor …. Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Universitas Safin Pati pada tanggal….. Peraturan Rektor tersebut menjadi dasar dalam pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Universitas Safin Pati.  Sebelum pembentukan Satgas, Universitas Safin Pati membentuk Tim Panitia Seleksi Calon Anggota Satgas PPKS terlebih dahulu berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Safin Pati Nomor 46/SK-PS/USP/V/2023 pada tanggal 18 Mei 2023 dan telah melakukan seleksi pada calon anggota Satgas PPKS Universitas Safin Pati pada tanggal…dengan rincian tahapan administrasi dan wawancara mengenai integritas, kepekaan gender, kompetensi, komitmen dan pengalaman.

Setelah ditetapkan Satgas PPKS, selanjutnya Universitas Safin Pati memberikan pembekalan kepada para anggota Satgas PPKS Universitas Safin Pati tentang berbagai materi terkait pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual khususnya di lingkungan perguruan tinggi dari berbagai sumber yang fokus dalam menangani kasus kekerasan seksual di Indonesia diantaranya dari Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Anak di kabupaten Pati, RPIAA Law Office yang sudah memiliki krisis center dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Selain anggotas Satgas PPKS Universitas Safin Pati, dalam pembekalan ini Universitas Safin Pati juga mengundang seluruh civitas akademika khususnya para pimpinan di tingkat universitas dan fakultas serta pimpinan organisasi mahasiswa untuk turut serta hadir dalam pembekalan ini. Hal ini menunjukkan komitmen yang tinggi dari Rektor dan para pimpinan Universitas Safin Pati dalam mengatasi kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus Universitas Safin Pati. Pembekalan yang diberikan pada anggota Satgas PPKS Universitas Safin Pati menjadi bekal untuk penyusunan Pedoman PPKS di lingkungan Universitas Safin Pati yang dilakukan pada tanggal 11 Juni 2023. Pedoman PPKS yang disusun menjadi acuan bagi PPKS maupun civitas akademika, tenaga kependidikan dan masyarakat umum Universitas Safin Pati dalam menangani kasus kekerasan seksual khususnya yang terjadi di lingkungan Universitas Safin Pati.

Satgas PPKS Universitas Safin Pati terbentuk setelah melalui proses seleksi oleh tim panitia seleksi yang ditetapkan pada tanggal 22 Mei 2023 oleh Rektor Universitas Safin Pati melalui Keputusan Rektor Universitas Safin Pati Nomor 48/SK-T/USP/V/2023 tentang Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Safin Pati Tahun 2023. Satgas PPKS Universitas Safin Pati ini menjalani tugas pokok dan fungsinya selama 3 (tiga) tahun kedepan yang beranggotakan 5 orang dan terdiri dari 3 dosen, 2 tenaga kependidikan di lingkungan Universitas Safin Pati. Pedoman PPKS Universitas Safin Pati disusun agar anggota Satgas PPKS Universitas Safin Pati dapat bersinergi dengan seluruh pimpinan dan civitas akademika, tenaga kependidikan dan masyarakat umum USP agar dapat membangun sikap secara institusional untuk mencegah berbagai bentuk kekerasan seksual baik yang dilakukan melalui kegiatan pencegahan/ preventif, maupun penanganan terhadap kasus-kasus yang terjadi dan dapat memberikan perlindungan juga pemulihan terhadap para Korban khususnya. Pedoman PPKS Universitas Safin Pati menjadi acuan dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual dilingkungan Universitas Safin Pati yang dapat dilaksanakan secara jelas, tegas, dan transparan.

Pedoman Satgas PPKS